“Ada satu kata yang menggangguku.”
“Apa itu?” tanya Bapa John.
“Begini,” kataku, “saat masyarakat mengucilkan seorang pencaplok-lahan kita menyebutnya dengan istilah eks-komunikasi sosial, tapi kita harusnya punya sebuah kata yang sama-sekali berbeda untuk mengacu pada ostrasisme (pengucilan) yang ditimpakan pada seorang tuantanah atau agentanah seperti si Boycott itu. Ostrasisme bukan istilah bagus – para petani takkan tahu apa artinya – tapi aku tak bisa menemukan istilah yang lain.”
“Betul,” kata Bapa John, “ostratisme bukan istilah yang bagus.”
Dia menunduk, menepuk-nepuk keningnya yang lebar, dan berkata: “Bagaimana kalau kita sebut saja mem-Boycott.”
***
Nukilan percakapan di atas saya terjemahkan dari percakapan antara James Redpath, seorang jurnalis, dengan Bapa John O’Malley, seorang agamawan di wilayah Lough Mask, County Mayo, Irlandia (sumber kutipan: wikipedia.com; sumber asli Captain Boycott and the Irish karya Joyce Marlow, 1973). Apa sebenarnya yang sedang mereka bahas? Siapakah “si Boycott itu” yang sedang mereka bicarakan? Saya akan menceritakannya nanti. Sebelumnya, mari kita simak dulu paparan berikut ini:
Pembaca pasti sudah pernah mendengar, atau bahkan menggunakan, kata yang akan saya ulas asal-usulnya kali ini: boikot. Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI, cetakan ke-2, terbit 1954) karya W.S. Poerwadarminta telah memasukkan kata ini sebagai lema kamusnya. Akan tetapi, kata yang menjadi butir di kamus itu tereja békot dan boikot. Berikut saya tampilkan kutipan dari KUBI.
békot, membékot: mengasingkan dr pergaulan; tidak mau bergaul (dng); tidak membeli (kpd); mis. Amin dibékot oleh teman-temannja; kaum buruh Australia 8 kapal-kapal Belanda;
pembékotan: perbuatan (hal dsb) membékot; mis. menghentikan pembékotan barang-barang Djepang.
boikot: békot.
Sementara itu, di Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat (KKBI, terbit 2008) yang digarap oleh Pusat Bahasa, yang menjadi lema tinggallah boikot – békot tidak tercantum. Kemungkinan besar, hal ini terjadi karena Ejaan yang Disempurnakan (EYD), yang diresmikan di tahun 1972, memilih boikot ketimbang békot. Saya kira, Poerwadarminta mengeja békot karena cara lafal masyarakat penutur bahasa Indonesia di masanya (ingat: penerbitan KUBI diterbitkan sekitar dua dasawarsa sebelum EYD diresmikan).
Mari kita lihat makna boikot dalam KBBI.
boi.kot v tolak kerja sama
mem.boi.kot v bersekongkol menolak untuk bekerja sama (berurusan dagang, berbicara, ikut serta, dsb); wakil partai itu tetap akan – pembicaraan tt undang-undang itu dl parlemen; sudah tiga bulan mereka –ku.
Jangan tanya soal asal-usul kata boikot, atau békot, pada kedua kamus di atas. Mereka tidak akan memberi Anda jawaban karena pada dasarnya kedua kamus tersebut tidak bersifat etimologis. Saya sendiri justru mengendus informasi etimologis tentang boikot di sebuah karya sastra Indonesia.
Kata boikot masuk ke bumi Nusantara di awal abad 20. Dari penelusuran yang saya perbuat, saya menemukan jejak kata boikot di salah satu karya mashyur Pramoedya Ananta Toer – Jejak Langkah (itu sebabnya tulisan ini saya beri judul “Jejak Langkah Boycott ke Boikot”). Dalam epos Jejak Langkah, Pramoedya berkisah tentang gerakan-gerakan pembangkangan, atau penolakan kerja sama, awal-mula yang terjadi di Hindia Belanda. Lewat dua tokoh dalam novel itu, Minke dan Frischboten, cerita tentang tiga pembangkangan besar terhadap pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan-perusahaan Eropa pun mengalir.
Cerita pertama datang dari kaum pedagang Tionghoa. Dikisahkan, seorang pedagang Tionghoa, karena salah paham antara dia dan perusahaan dagang besar Eropa saat hendak membeli barang dagangan, dihina dan diusir dari kantor perusahaan itu. Pada saat itu, sebenarnya telah berdiri sebuah organisasi Tionghoa yang sangat kuat di Hindia Belanda, Tiong Hoa Hwee Koan (berdiri 1900). Atas dasar kesetiakawanan antar sesama pedagang Tionghoa, para pedagang Tionghoa dengan kompak menolak mengambil barang dagangan dari perusahaan-perusahaan besar Eropa. Tak lama, tak kurang dari empat perusahaan Eropa gulung-tikar. Dunia perbankan goncang; dunia perdagangan kacau-balau. Berikut adalah kata-kata Frischboten pada Minke mengenai kejadian tersebut:
“Boycott, Tuan,” kata Frischboten. Kemudian ia terangkan tentang ajaran Kapten Boycott. Bukan golongan kuat saja punya kekuatan, juga golongan lemah, asal berorganisasi. “Dan hanya dengan organisasi, Tuan, golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri sebenarnya. Boycott, Tuan, perwujudan kekuatan dari golongan lemah,” (2002: 305 – cetak-tebal saya; di sinilah saya menyadari bahwa kata boikot berasal dari nama seseorang).
Minke, terbakar dengan penjelasan Frischboten tentang Kapten Boycott, menemukan adanya kesamaan konsep-juang antara apa yang dilakukan para pedangang Tionghoa dengan apa yang dilakukan oleh Kaum Samin di Blora (yang menolak membayar pajak pada Gubermen) dan Legiun Mangkunegaran (tentara pribumi garapan Belanda yang membangkang tak hendak berlayar ke Bali dan Lombok untuk bertempur dengan manusia-manusia sebangsa mereka). Minke pun segera mengumumkan konsep ‘baru’ tersebut lewat suratkabarnya yang ternama Medan (Priyayi).
***
Pram tidak menjelaskan siapa sosok Kapten Boycott itu dan apa isi dari “ajaran Kapten Boycott”. Lalu siapakah Kapten Boycott yang dimaksud oleh Frischboten? Apakah ia orang yang sama dengan yang dibicarakan James Redpath dengan Bapa John O’Malley dalam petikan percakapan yang jadi pembuka tulisan ini? Ya, memang orang yang sama.
Dialah Kapten Charles Cunningham Boycott (1832-1897), seorang mantan perwira tentara Britania, yang setelah pensiun bekerja di wilayah Lough Mask, County Mayo, Irlandia sebagai seorang agen tanah untuk seorang tuantanah bangsawan bernama Lord Erne (John Crichton, Earl Erne Ketiga). Di tahun 1880, terjadi masa panen buruk di Irlandia. Para petani penggarap lahan Lord Erne menuntut penurunan harga sewa tanah sebanyak 25%, sementara sang tuan tanah, lewat tangan-kanannya, Kapten Boycott, menyatakan bahwa jumlah persen yang disetujui hanya 10% saja. Kita harus ingat pada praktik feodalisme yang berlaku di Britania saat itu. Tuan tanah adalah para bangsawan Britania yang memiliki lahan teramat luas. Para petani hanya berhak menggarap lahan tersebut dengan membayar uang sewa, yang biasanya selangit.
Para petani penyewa lahan protes. Dan Boycott berusaha untuk mengganjar protes tersebut dengan mengusir 11 petani penyewa lahan, dan memilih untuk mengerjakan lahan itu sendiri. Inilah yang menyulut kemarahan petani. Saat itu, di Irlandia telah berdiri sebuah organisasi petani penyewa lahan, bernama Liga Lahan Irlandia (LLI – Ing. Irish Land League), yang dipimpin oleh Charles Stewart Parnell dan Michael Davitt. Menanggapi kasus Kapten Boycott ini, LLI, lewat Charles Stewart Parnell, menyatakan sikap di depan para anggota yang matanya tengah diselimuti kabut amarah. Parnell pun terkenal karena pidatonya itu. Di tengah pidatonya, yang disampaikan pada 19 Oktober 1880 di wilayah Ennis, County Clare, Irlandia, Parnell bertanya pada massa, “Apa yang akan kalian lakukan pada penyewa lahan yang mengambil-alih kerja di ladang tempat tetangganya diusir?” Dan massa meneriakkan jawaban seperti “bunuh dia!” atau “tembak dia!”. Kepada jawaban ini, Parnell membalas:
Saya ingin menunjukkan pada Anda sekalian sebuah cara yang jauh lebih baik – sebuah cara yang lebih Kristiani dan murah hati, yang akan memberikan orang yang tersesat itu kesempatan bertobat. Saat seseorang mengambil-alih ladang tempat seseorang lain telah terusir, kalian harus menghindar darinya saat bertemu di jalan – kalian harus menghindar darinya di jalan-jalan kota – kalian harus menghindar darinya di toko – kalian harus menghidar darinya di ladang dan di tempat umum – dan bahkan di tempat ibadah, dengan membiarkannya sendiri, memberinya pengucilan moral, mengasingkannya dari tempat ini, seolah-olah dia seorang penderita kusta – kalian harus menunjukkan padanya sikap benci terhadap tindak kejahatan yang dia lakukan (sumber: wikipedia.com; sumber asli The Irish experience: a concise history karya Thomas E. Hachey, Joseph M. Hernon, dan Lawrence John McCaffrey, 1996).
Mengikuti saran itu, sekaligus seluruh orang mengucilkan Kapten Boycott, dari para penggarap lahan, tukang pos, pekerja binatu, sampai toko-toko. Walhasil, Kapten Boycott kesulitan untuk memanen tanamannya sendiri karena tidak ada yang mau bekerja untuknya. Walau akhirnya berhasil melakukan panen dengan menggunakan pekerja dari County Cavan dan County Monaghan, yang dikawal sekitar 1000 polisi, Kapten Boycott justru merugi karena biaya pemanenan jauh lebih tinggi dari hasil yang didapat. Agen tanah itu bangkrut. Tahun itu juga dia cabut dari Irlandia, dan meninggal di tahun 1897 pada usia 65 tahun.
Begitulah nasib Kapten Boycott. Dan konsep pengucilan yang disarankan Parnell, dan peristiwa pengucilan Kapten Boycott menjadi terkenal di mana-mana. Berbagai media massa meliputnya. Setelah usulan Bapa John O’Malley kepada jurnalis James Redpath untuk menggunakan nama Boycott sebagai istilah untuk menyebut aksi itu, suratkabar seperti The Times dan Daily News pun menggunakannya: (The Times, 20 November, 1880: “The people of New Pallas have resolved to ‘boycott’ them and refused to supply them with food or drink”; Daily News, 13 Desember, 1880: “Already the stoutest-hearted are yielding on every side to the dread of being ‘Boycotted’”). Di tahun 1881, seperti terekam di The Spectator, 22 Januari, 1880, kata boycott telah digunakan secara kiasan seperti dalam kalimat: “Dame nature arose… She ‘Boycotted’ London from Kew to Mile End” (sumber: wikipedia.com).
Itulah konsep boikot itu. Dan yang menyampaikannya adalah Charles Stewart Parnell. Jadi, Pram melakukan kekeliruan sebenarnya dengan menggunakan frasa “ajaran Kapten Boycott” untuk mengacu pada boikot karena frasa tersebut terkesan mengatakan bahwa boikot adalah ajaran yang dibuat/diciptakan oleh Kapten Boycott. Padahal, justru Kapten Boycott sendirilah yang menjadi ‘korban’ pertama dari tindakan boikot yang disarankan oleh Parnell. Seperti yang telah kita baca di petikan percakapan James Redpath dengan Bapa John O’Malley, bisa kita simpulkan bahwa pengusul pertama untuk menggunakan kata boycott adalah Bapa John O’Malley, di tahun 1880. Dan bahasa Inggris pun bertambah lagi satu kosakatanya. Bukan itu saja, karena kepopuleran insiden Kapten Boycott lawan Petani Irlandia, seluruh dunia kini mengenal kata itu, dari Jepang boikotto sampai Indonesia boikot. Itulah jejak langkah Kapten Boycott sampai dia tiba di bumi Nusantara ini.