Kamus Khalayak Bahasa Indonesia

Jika kata yang hilang itu hilang, jika kata yang habis itu habis
Jika kata yang tak terdengar, tak terucap itu
Tak terucap, tak terdengar;
Geminglah kata yang tak terucap, Kata yang tak terdengar,
Kata tanpa sepatah kata, Kata dalam
Dunia dan untuk dunia;
Dan cahya berkilau dalam gelap
Dan terhadap Kata, Dunia yang lasak tetap berputar
Di sekitar pusar Kata yang diam. (TS Eliot)

Kata bahasa Arab qāmūs (قامٯس) mungkin merupakan salah satu produk neologisme paling puitis. Kata ini berakar pada kata dalam bahasa Yunani Kuno ōkeanós (ώκεανός), yang bermakna ‘samudera’. ōkeanós adalah akar-hulu dari kata bermakna ‘samudera’ dalam bahasa-bahasa Eropa, seperti oceaan (Belanda), ocean (Inggris), ozean (Jerman), oceano (Spanyol, Italia, dan Portugis), dan ocyan (Prancis). Dalam bahasa Arab, kata qāmūs memiliki dua arti: ‘samudera’ dan ‘kamus’. Makna kedua inilah yang diproduksi melalui proses neologisme (kata lama diberi makna baru). Bila kita banding-hubungkan makna yang kedua dengan yang pertama, kita boleh membayangkan qāmūs sebagai sebuah samudera tempat kita menimba pengetahuan tentang kosakata dan makna. Dari qāmūs dengan maknanya yang kedua inilah bahasa Melayu, dan kemudian bahasa Indonesia, memperoleh kata kamus.

Bilakah kata kamus pertama sekali melintas dan hinggap di lidah masyarakat penutur Nusantara? Pertanyaan ini mungkin tidak ada yang mampu menjawabnya apabila kita menuntut sumber bukti lisan. Namun, jawaban dapat dicari di sumber tulisan. Dari penelusuran yang saya lakukan dengan bantuan internet, saya ketahui bahwa kata kamus tercatat digunakan oleh sastrawan dan bahasawan besar Melayu, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, dalam karangan otobiografis bertajuk Hikayat Abdullah bin Abdul Kadir (dikerjakan tahun 1842). Dalam naskah itu, ada sepuluh kali kata kamus digunakan. Saya kutipkan dua di antaranya: (1) “Maka setelah diertikan oleh juru bahasanya itu maka tertawalah ia. Setelah itu, maka masuklah ia ke dalam. Maka dibawanya satu kitab kamus bahasa Melayu dan Inggeris. Maka diperiksanya ada barang lima enam puluh perkataan seperti “patik” dan “singgahsana”, dan “sesungguhnya”, dan “sengsara” dan sebagainya.” dan (2) “…maka baharulah ia mau bercakap sama sendirinya serta tertawa2. Arkian maka adalah sedia kubawa suatu kitab kecil yang penuh dengan perkataan dalamnya seperti kitab kamus; tiada namanya dalam bahasa Melayu, bahasa Inggeris namanya Vocabulary.”

Bukti ini tidak untuk mengatakan bahwa kata kamus bertandang ke Nusantara baru pada tahun 1842. Tentunya kata kamus telah hadir terlebih dahulu dalam bentuknya yang lisan. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat sifat naskah Abdullah yang otobiografis itu. Otobiografis berarti naskah tersebut merupakan catatan/rekaman pengalaman-pengalaman si pengarang sendiri. Kata kamus muncul dalam naskah Abdullah saat ia mengisahkan pertemuan dan percakapannya dengan Tuan Milne, seorang paderi berkebangsaan Inggris yang bertandang ke Malaka pada tahun 1828, tentang terjemahan Injil dari bahasa Inggris ke bahasa Melayu. Dari hal ini saja, kita sudah bisa pastikan bahwa 1842 bukanlah kala pertama kata kamus digunakan oleh lidah Melayu.

Di Nusantara, penulisan kamus, dalam bentuk daftar-kata, sebetulnya sudah dimulai bahkan sejak abad ke-15. Di masa itu terdapat sebuah daftar-kata dwibahasa Tionghoa-Melayu, yang memuat sekitar 500 kosakata Tionghoa dan padanannya dalam bahasa Melayu. Lepas dari masa itu, beberapa kamus dwibahasa, rata-rata memuat padanan kosakata bahasa Nusantara (seperti Melayu, Jawa, Batak, Sunda, Bali, dan Kawi) dalam bahasa Eropa (utamanya Belanda), diterbitkan. Saya tidak akan berpanjang-cakap perihal perincian sejarah kamus di Nusantara. Fokus tulisan ini saya khususkan untuk membahas kamus-kamus ekabahasa yang pernah dikerjakan oleh para leksikograf Indonesia, selepas diakuinya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu negara-bangsa Indonesia lewat Sumpah Pemuda 1928.

Kamus Ekabahasa di Indonesia
Kamus ekabahasa adalah kamus yang mencatat kosakata sebuah bahasa dan menjelaskan makna/pengertiannya dengan kata-kata yang lebih sederhana dalam bahasa yang sama. Konsep kamus ekabahasa ini tidak hadir duluan dalam sejarah penulisan kamus di dunia. Kamus (yang dianggap) tertua di dunia, misalnya, daftar kata yang ditulis dengan tulisan kuno berbentuk baji, merupakan kamus dwibahasa: Sumeria-Akkadia. Kamus ini, yang merupakan warisan kebudayaan kekaisaran Akkadia, ditemukan di Ebla (sekarang Suriah) dan secara kasar diketahui ditulis tahun 2300 SM. Sementara itu, karya leksikografi yang sampai sekarang diklaim sebagai kamus ekabahasa tertua di dunia berasal dari peradaban Tiongkok. Namanya kamus Erya, diyakini ditulis pada abad ke-3 SM (dua puluh abad setelah penulisan kamus dwibahasa pertama di dunia!). Kamus ini kerap dipertalikan dengan mahasarjana Konfusius, merupakan panduan otoritatif untuk membaca naskah-naskah klasik Tiongkok semasa Dinasti Han, dan secara resmi didaku masuk dalam Tiga Belas Karya Klasik Konfusius di masa Dinasti Song.

Hal ini terjadi mungkin karena secara sederhana kamus kerap dimaknai sebagai daftar-kata tempat orang mencari padanan/terjemahan kosakata bahasa tertentu dalam bahasa lain. Juga, kemungkinan besar karena masyarakat penutur merasa tidak memerlukan suatu produk bahasa yang mencoba menjelaskan makna kata-kata dalam bahasa mereka sendiri – makna setiap kata dalam bahasa tertentu telah dipahami secara naluriah oleh penuturnya masing-masing. Namun, kemampuan memahami makna secara naluriah ini tidak dapat bertahan lama karena kosakata berkembang begitu pesatnya, terutama saat sebuah bahasa menerima banyak sekali pengaruh dari bahasa-bahasa lain. Pembengkakan jumlah kosakata adalah ganjaran masuk-akal dari bersentuhannya suatu bahasa dengan bahasa lain. Kata-kata ‘baru’ inilah, salah satunya, yang membuat kebutuhan akan kamus ekabahasa menjadi tak terbantahkan. Selain itu, munculnya kamus ekabahasa juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari dipromosikannya sebuah bahasa menjadi identitas sebuah negara-bangsa. Penyebab yang terakhir ini tampaknya relevan dengan kamus ekabahasa Indonesia.

Setelah bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa pemersatu sekaligus penanda jati diri negara-bangsa Indonesia, ternyata orang harus menunggu sampai 21 tahun untuk dapat memiliki sebuah kamus ekabahasa Indonesia. Kamus itu hadir dalam bentuk sebuah kamus khusus, Kamus Istilah, yang dikerjakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan diterbitkan tahun 1949. Tentunya kamus khusus ini belum dapat dijadikan pegangan untuk melihat peta kosakata bahasa Indonesia secara menyeluruh karena ia hanya merekam istilah-istilah, bukan kata-kata pada umumnya.

Baru di tahun 1950an lah kita bisa menyaksikan betapa ligat dan uletnya para penulis kamus menyusun kamus ekabahasa Indonesia yang lebih lengkap. Pada tahun 1951, hadir sekaligus dua kamus umum ekabahasa Indonesia: Kamus Indonesia susunan E. St. Harahap dan Kamus Besar Bahasa Indonesia karya Hassan Noel Arifin. Setahun berikutnya, 1952, terbit lagi satu karya leksikografi monolingual: Kamus Umum Bahasa Indonesia, buah pekerjaan W.J.S. Poerwadarminta. Tak lama berselang, 1954, muncul Kamus Modern Bahasa Indonesia hasil kerja Sutan Muhammad Zain. Keempat kamus ini menjadi tugu penanda sekaligus alas bagi perkembangan kamus umum ekabahasa di Indonesia.

Kecenderungan kamus khusus mendahului kamus umum sebenarnya juga terjadi dalam sejarah penulisan kamus ekabahasa bahasa-bahasa lain. Bahasa Inggris, misalnya, juga terlebih dahulu memiliki kamus ekabahasa dalam bentuk kamus khusus. Kamus yang dinamai Table Alphabeticall ini dikerjakan oleh seorang kepala sekolah bernama Robert Cawdrey dan terbit tahun 1604. Table Alphabeticall berisi 2.543 lema yang terdiri dari kata-kata sukar bahasa Inggris “yang dipinjam dari bahasa Ibrani, Yunani, Latin, Prancis, dsb., dengan tafsiran maknanya dalam bahasa Inggris sederhana…” Masyarakat penutur bahasa Inggris terpaksa menanti selama 151 tahun sampai akhirnya salah satu kritikus sastra dan bahasawan terbesar yang pernah mereka punya, Samuel Johnson, menerbitkan sebuah kamus umum bahasa Inggris paling otoritatif dan handal pada masa itu, berjudul A Dictionary of the English Language di tahun 1755. Kamus ini memuat 42.773 kata, bersifat etimologis, dan dilengkapi dengan 114.000 kutipan yang mengilustrasikan penggunaan kata dari karya-karya sastrawan Inggris, seperti Shakespeare, Milton, dan Dryden. Secara konseptual, keistimewaan A Dictionary of the English Language terletak pada sifatnya yang etimologis dan pada kutipan ilustratif tersedia dalam kamus itu. Sifat etimologis ini juga dapat kita temukan pada kamus bahasa Inggris paling berpengaruh lainnya, An American Dictionary of the English Language, kamus bermuatan 70.000 lema yang dikerjakan oleh Noah Webster dan diterbitkan pada tahun 1828. Webster sampai harus mempelajari 26 bahasa untuk membuat evaluasi terhadap asal-usul setiap kata yang ia sertakan dalam kamusnya itu.

Keempat kamus yang disusun oleh E. St. Harahap, Hassan Noel Arifin, W.J.S. Poerwadarminta, dan Sutan Mohammad Zain telah meletakkan dasar leksikografi bahasa Indonesia. Secara khusus saya akan membahas Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) karya Poerwadarminta. Kamus ini, sebagai sebuah proyek, tidak bersifat pribadi. KUBI adalah buah dari proyek Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan Universitas Indonesia (lembaga ini, setelah melewati perjalanan panjang dan beberapa kali berganti nama, sekarang kita kenal sebagai Badan Bahasa). Badan Bahasa menganggap kamus ini sebagai kamus yang menjadi “tonggak sejarah dalam pertumbuhan leksikografi Indonesia”.

KUBI adalah kamus yang bersifat deskriptif. Dalam linguistik, ‘deskriptivisme’ adalah paham yang menggambarkan bagaimana bahasa dari zaman ke zaman digunakan oleh penuturnya. Secara ekstrem, paham ini bertolak-belakang dengan ‘preskriptivisme’, mazhab linguistik yang meresepkan bagaimana bahasa seharusnya digunakan oleh penuturnya. Dengan demikian, KUBI adalah kamus yang menggambarkan secara objektif bagaimana bahasa Indonesia digunakan oleh khalayak penutur. W.J.S. Poerwadarminta sendiri memang tidak memberi satu pun peringatan tentang bentuk kata mana yang seharusnya digunakan, mana yang benar dan mana yang salah; KUBI menempatkan diri sebagai kamus yang murni menjadi “tjermin perkembangan dan pemakaian bahasa Indonesia pada dewasa ini.”

Seperti yang diakui Poerwadarminta sendiri, tujuan dari penulisan KUBI adalah penyediaan kamus praktis untuk “dapat memenuhi keperluan-keperluan jang praktis dalam batja-membatja segala matjam batjaan”. Maka, demi kepraktisan juga lah Poerwadarminta berusaha menghadirkan penjelasan makna secara ringkas serta menyertakan contoh penggunaan kata bila dirasa perlu.

Poerwadarminta menyadari bahwa perkembangan bahasa Indonesia, sepesat apa pun yang terjadi pada masa itu, belumlah mencapai tahap yang seberapa. Maka, bagai menitip pesan pada generasi ahli bahasa yang lebih muda, dalam ‘Sepatah Kata’ yang ia tuliskan di halaman pembuka KUBI, ia berkata, “…tak boleh tidak kamus seringkas ini masih djauh djaraknja dari kamus bahasa Indonesia jang lengkap sempurna serta tiada aib tjelanja jang akan disusun oleh para ahli bahasa kelak. Dengan perkataan lain, kamus ini masih bertingkat tjatatan sementara atau lebih tegas lagi masih ‘tjalak-tjalak ganti asah’ belaka.”

Di tahun 1976, KUBI dicetak untuk kali kelima. Dalam cetakan itu, KUBI mengalami pembesaran jumlah lema dan pembaharuan ejaan oleh Bidang Perkamusan dan Peristilahan, Pusat Bahasa. Dua tahun sebelumnya, diselenggarakanlah sebuah penataran leksikografi oleh Lembaga Bahasa Nasional (nama Badan Bahasa kala itu) untuk menambah tenaga ahli perkamusan dan meningkatkan mutu leksikografi di Indonesia. Para tenaga ahli binaan penataran leksikografi ini banyak terlibat dalam penyusunan kamus-kamus bahasa daerah. Setelahnya, seperti ingin menjawab pesan Poerwadarminta, tenaga ahli perkamusan tersebut diberdayakan perannya untuk membidani lahirnya kamus ekabahasa Indonesia ‘generasi baru’. Penggarapan kamus itu dimulai tahun 1974. Produk leksikografi dari proyek tersebut terbit tahun 1983, dengan nama-lahir Kamus Bahasa Indonesia. Akan tetapi, jangan harap dapat dengan mudah menemukan anak-darah-daging Badan Bahasa yang satu ini. Kamus yang diniatkan sebagai “kamus yang lebih lengkap daripada Kamus Umum Bahasa Indonesia” tersebut hanya “beredar dalam kalangan terbatas”. Lebih lagi, Kamus Bahasa Indonesia juga dianggap “belum dapat disebut kamus besar atau kamus baku sebagaimana dicita-citakan oleh para ahli bahasa Indonesia”. Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Kamus Bahasa Indonesia adalah sebuah ‘produk (yang dianggap) gagal’.

Kamus (Besar) Bahasa Indonesia
Sebagai ganti dari Kamus Bahasa Indonesia, Badan Bahasa dengan sigap mengambil langkah untuk membentuk sebuah regu penyusun kamus baru. Kamus ini kemudian diniatkan untuk menjadi sebuah ‘kamus besar’. Kata sifat besar sangat penting maknanya dalam sebuah konsep kamus. Untuk itulah saya memberi tanda kurung untuk kata besar dalam frasa kamus besar bahasa Indonesia: saya ingin mempersoalkannya.

Cara Badan Bahasa memaknai dan sikapnya terhadap konsep ‘kamus besar’ dapat kita periksa dalam artikel ‘Latar Belakang Perkamusan Indonesia’, yang maktub di bagian awal Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi ke-IV. Saya kutip beberapa penggalan penting dari artikel itu (agak panjang memang, tapi penting sangat): “Istilah kamus besar yang menjadi judul kamus bahasa Indonesia ini bukan semata-mata menyuratkan ukuran fisiknya, melainkan lebih mempunyai makna yang bersangkutan dengan banyaknya informasi yang terkandung di dalamnya. Pengembangan bahasa merupakan upaya meningkatkan mutu bahasa untuk memenuhi berbagai keperluan dalam kehidupan bermasyarakat… Pengembangan bahasa itu, antara lain dilakukan melalui penelitian, pembakuan, dan pemasyarakatan. Penyusunan kamus merupakan usaha kodifikasi bahasa yang menjadi bagian dari pembakuan bahasa tersebut. Kamus besar adalah kamus yang mencatat kekayaan suatu bahasa sampai pada waktu tertentu, yang disusun dalam bentuk lema atau entri, lengkap dengan segala nuansa maknanya. Nuansa makna kata diuraikan dalam bentuk definisi, deskripsi, contoh, sinonim, atau parafrasa. Uraian itu juga disertai dengan label pemakaian suatu kata dan maknanya (label ragam bahasa); daerah atau kelompok sosial pemakaian suatu kata dan maknanya (label dialek regional atau dialek sosial), atau masih dipakai atau tidak suatu kata; jika tidak, di mana pernah dipakai (label dialek temporal); dan dengan etimologi yang menjelaskan perkembangan bentuk dan makna kata sejak permulaan kata itu dipakai dalam bahasa, baik kata asli maupun kata serapan bahasa lain.”

Sebelum saya lanjut membahas perihal diterapkan-tidaknya seluruh perincian syarat yang harus dipenuhi KBBI agar kamus tersebut layak menyandang gelar ‘kamus besar’, saya ingin menyajikan beberapa informasi pembanding tentang konsep ‘kamus besar’ itu sendiri. Begini:

KBBI pastinya bukan ‘kamus besar’ pertama dan ‘terbesar’ di dunia. Ada banyak kamus besar bahasa lain, yang bahkan kemudian pantas dianggap sebagai ‘kamus nasional’, yang hadir lebih awal dibanding KBBI. Contoh-contoh yang patut dicatat, misalnya, kitab Oxford English Dictionary (terbit tahun 1928, edisi perdana hadir dalam 12 volume bermuatan 414.825 butir masukan), Woordenboek der Nederlandsche Taal (bagian terakhir kamus ini terbit tahun 1998 setelah melewati 150 tahun masa pengerjaan, versi cetaknya terdiri dari 43 volume bermuatan lebih dari 430.000 butir masukan – secara ukuran versi cetak, mungkin ini kamus terbesar dan tertebal di dunia), Deutsches Wörterbuch (pengerjaan dimulai tahun 1838 dan selesai tahun 1961, terdiri dari 32 volume bermuatan kurang-lebih 350.000 butir masukan), Vocabulario degli Accademici della Crusca (kamus besar pertama di daratan Eropa, edisi pertamanya terbit tahun 1612), Dictionnaire de l’Académie française (edisi pertama terbit tahun 1694), Diccionario de la lengua española de la Real Academia Española (edisi pertama terbit tahun 1780), dan kamus Kangxi (mencatat lebih dari 47.000 abjad bahasa Cina, terbit tahun 1716).

Secara khusus, saya ingin membahas sifat dari Oxford English Dictionary. Kamus ini punya kisah yang panjang – cukup panjang untuk diceritakan dalam sebuah novel. Proyek pembuatan kamus ini berawal saat, di bulan Juni 1857, tiga anggota Masyarakat Filologi Inggris, Richard Chenevix Trench, Herbert Coleridge, dan Frederick Furnivall, membentuk sebuah komite bernama “Komite Kata-Kata Tak Terdaftar” (Unregistered Words Committee). Komite ini mereka bentuk atas dasar ketakpuasan mereka terhadap mutu kelengkapan dan kesahihan kamus-kamus umum bahasa Inggris yang telah beredar sebelumnya, dua di antaranya adalah justru Dictionary of the English Language-nya Samuel Johnson dan An American Dictionary of the English Language-nya Noah Webster. Komite ini tidak percaya bahwa 40.000 lema yang dikandung kamus Samuel Johnson atau 70.000 lema yang dikandung oleh kamus Noah Webster merupakan jumlah keseluruhan khazanah kata bahasa Inggris.

Hal yang diimpikan dari penyusunan kamus bahasa Inggris ini sebetulnya boleh dibilang ‘gila’. Oxford English Dictionary diarahkan untuk menjadi kamus yang merekam bahasa Inggris secara bulat-menyeluruh. Inilah cakupan dari ke-menyeluruh-an tersebut: “setiap kata, setiap nuansa, setiap pergesaran makna, ejaan, dan pengucapan, setiap akar etimologi, setiap kutipan ilustratif yang bisa dipinjam dari setiap pengarang Inggris.” Cakupan ini berimbas pada sifat kamus itu: deskriptif dan etimologis sampai pada derajatnya yang paling tinggi. Sifat deskriptif ini berbeda, misalnya, dengan kamus Samuel Johnson. Johnson, dalam ‘Prakata’nya di Dictionary of the English Language, menyatakan “…tapi, demikian juga halnya, setiap bahasa memiliki ketaklayakan dan absurditasnya sendiri, dan menjadi tugas penulis kamus lah untuk mengoreksi dan mengharamkannya.” Sifat deskriptif ini juga berbeda dengan kamus Italia Vocabulario degli Accademici della Crusca dan kamus Prancis Dictionnaire de l’Académie française. Kedua kamus ini bersifat preskriptif dan bahkan cenderung ingin memurnikan bahasa Italia dan Perancis.

Meski demikian, Oxford English Dictionary mewarisi satu ciri dari kamus Samuel Johnson: penggunaan kutipan ilustratif untuk menerangkan penanggalan penggunaan kata pertama sekali dalam tulisan tercetak dan untuk menyediakan bukti atas (pergeseran) makna. Edisi pertama kamus ini saja sudah memuat 1.827.306 kutipan ilustratif dari sekian banyak karya tulis yang pernah dikerjakan penulis Inggris sampai pada masa kamus itu selesai dibuat. Bisa kita bayangkan betapa besar korpus yang digunakan. Untuk memilih dan memilah kalimat-kalimat kutipan tersebut, para editor menggunakan tenaga dan jasa ratusan sukarelawan, yang bertugas membaca buku-buku untuk mencatat setiap kata dan makna unik serta memilih kutipan-kutipan yang menerangkan kata dan makna tersebut dalam penerapannya. Setiap ciri, sifat, dan informasi yang dikandung Oxford English Dictionary inilah yang kemudian mengejawantah dalam konsep ‘kamus besar’.

Lalu, KBBI? Walau mengakui bahwa sifat etimologis menjadi syarat sebuah ‘kamus besar’, KBBI sebetulnya tidak menerapkan hal ini. Label bahasa daerah atau bahasa asing yang ditempelkan dalam batang-tubuh KBBI tidak dimaksudkan sebagai informasi etimologis, melainkan untuk “menunjukkan dalam bahasa apa atau dialek Melayu mana kata yang bersangkutan digunakan”. Kamus pendahulu KBBI, yaitu KUBI, pun tidak memaksudkan diri untuk menyajikan informasi etimologis bagi setiap lema yang dicatatnya. Seperti yang diakui Poerwadarminta, “[a]sal-usul kata tidak diutamakan dalam kamus ini. Huruf-huruf kependekan seperti A (Arab), Dj (Djakarta)… hanja dipakai djika kata-kata itu ‘pada umumnja’ belum mendjadi kata Indonesia umum.”

Dalam KBBI, kita juga tidak akan menemukan satu pun kutipan ilustratif, lengkap dengan informasi penanda waktu kapan kutipan itu ditulis. Kutipan ilustratif sangat penting karena berperan sebagai bukti bahwa sebuah kata pernah digunakan dalam bahasa tertentu. Di tulisan saya yang lain saya pernah ‘mengeluh’ perihal satu lema dalam KBBI, yaitu mandi yang berarti ‘manjur’ atau ‘mujarab’. Saya tahu bahwa kata ini diserap dari bahasa Jawa. Namun, saya jadi ragu bahwa kata ini pernah digunakan sebagai kata bahasa Indonesia karena tidak tersedianya bukti dalam rupa kutipan ilustratif.

Preskriptif adalah sifat dari KBBI pada umumnya. Perhatikan saja, misalnya, bagian yang saya kutip dari ‘Prakata Edisi Ketiga’ KBBI, yang ditulis oleh Pemimpin Redaksinya, Hasan Alwi, saat membahas masalah ragam eja praktik dan praktek ini: “Yang dipilih sebagai lema yang diberi definisi adalah praktik, sedangkan sedangkan (sic!) praktek dicantumkan sebagai variasi yang tidak dianjurkan penggunaannya.” Di situ terlihat jelas sekali bahwa KBBI mencoba berperan sebagai kamus yang memberitahukan pada penutur bagaimana bahasa seharusnya digunakan.

Bila kita mencoba membandingkan jumlah butir masukan yang dimuat oleh KBBI dengan kamus besar lain yang telah saya jabarkan di atas, kita dapat segera melihat perbedaan yang sangat signifikan. Menurut saya, hal ini terjadi karena KBBI sengaja memaksudkan diri sebagai kamus dalam kerangka pembakuan bahasa Indonesia. Kerangka ini yang membatasi KBBI dalam merekam khazanah kata bahasa Indonesia. Mau tidak mau, KBBI tidak boleh menganut paham deskriptif. Ia terpaksa harus menjadi jauh lebih pilih-pilih dalam memilih kata calon lema. Niatnya untuk mewujudkan bahasa Indonesia baku inilah yang membuat ragam kosakata yang begitu banyak jumlahnya tidak terekam karena harus dikorbankan. Imbasnya: dengan sendirinya lema yang dikandung menjadi jauh lebih sedikit. Sebagaimana Komite Kata-Kata Tak Terdaftar, saya juga memilih untuk tidak percaya bahwa 90.049 lema dan sublema yang dicatat KBBI telah mewakili seluruh kosakata yang dimiliki bahasa Indonesia.

Kamus Kita Orang Punya
Seorang penyair kelahiran Tasikmalaya, Bode Riswandi, saat meluncurkan bunga rampai puisinya yang berjudul Mendaki Kantung Matamu (2010) di Yogyakarta, pernah berkisah: puisi-puisinya dikecam (dikritik) oleh seorang bahasawan Balai Bahasa karena kata-kata yang ia gunakan banyak yang tidak maktub dalam KBBI. Menjawab keluh-kesahnya itu, saya bilang begini, “Mas Bode, kalau kata-kata dalam puisi Anda banyak yang tidak tercantum dalam KBBI, itu bukan salah Anda. Itu salah kamusnya!”

Saya yakin keluhan Bode hanyalah satu dari sekian banyak kejadian serupa yang dialami oleh penutur bahasa Indonesia. Permasalahan di sini sebetulnya bukan hanya terletak pada tidak akomodatifnya KBBI sebagai rujukan ekspresi bahasawi setiap penutur, tapi juga pada sikap orang-orang yang mengidentifikasikan dirinya berada di bawah payung kelembagaan, berarti juga payung wewenang, yang sama dengan produsen KBBI. Kecaman yang dilontarkan oleh bahasawan Balai Bahasa itu tentu berdasar pada tabiat melihat bahasa dengan kacamata ‘aparat yang berwenang’. KBBI lalu dijadikan semacam KUHP, acuan untuk menentukan apakah penggunaan sebuah kata itu pantas ‘dipidanakan’ atau tidak. Sikap semacam inilah yang membuat banyak penutur justru jauh, tidak akrab, dan tidak mesra dengan kamus ekabahasa monumental paling bersinar di Indonesia ini. KBBI tidak menjadi kamus milik seluruh penutur karena ia tidak mewakili lidah seluruh penutur. Di titik ini, KBBI bukanlah sebuah kamus khalayak bahasa Indonesia.

Frasa kamus khalayak bahasa Indonesia ini pertama sekali saya dengar tercetus dari pikiran seorang pencinta bahasa Indonesia, Ivan Lanin. Saat mengamat-amati frasa ini, saya langsung membayangkannya sebagai sebuah konsep penulisan kamus bahasa Indonesia. Kata khalayak menjadi ungkapan yang istimewa dalam frasa ini. Kata ini pulalah yang menjadi perangkum tujuan, visi-misi, sikap, sifat, ciri, serta tabiat dari kamus bahasa Indonesia itu.

Khalayak berarti ‘orang banyak’, atau ‘masyarakat’. Dengan demikian, frasa khalayak bahasa Indonesia berarti ‘masyarakat bahasa Indonesia’, suatu entitas yang merangkum seluruh manusia yang menggunakan bahasa Indonesia dalam arti seluas-luasnya. Tercakup dalam entitas ini adalah penutur bahasa Indonesia di dalam wilayah kedaulatan negara-bangsa Indonesia dan di luar wilayah Indonesia (baik itu penutur asli, penutur asing, penutur yang bahasa pertamanya bahasa Indonesia, penutur yang bahasa pertamanya bukan bahasa Indonesia, penutur yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, penutur yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, dlsb.) – singkatnya: penutur bahasa Indonesia siapa saja yang hidup dalam rentang waktu kapan saja dan rentang ruang di mana saja.

Untuk itu, Kamus Khalayak Bahasa Indonesia (KKhBI) kemudian dituntut untuk mampu merekam bahasa Indonesia secara menyeluruh dalam hal tumbuh-kembang, juga pergeseran, (bentuk) kata dan makna. Kamus ini pun hendaknya tidak punya tendensi untuk memproduksi resep-resep bahasa dalam lingkung mazhab preskriptivisme. Alih-alih, ia sebaiknya mampu memotret dan memetakan dengan jernih bentangan tamasya bahasa Indonesia sebagaimana digunakan oleh penuturnya, dalam setiap ragam, dalam setiap konteks, dalam setiap logat. Ia pun tidak bermaksud untuk membakukan apalagi memurnikan bahasa Indonesia. Pembakuan kosakata bahasa Indonesia sudah dilakukan oleh KBBI; KKhBI tidak perlu mengulanginya. Sikap ‘mengajurkan penggunaan yang seharusnya’ juga tidak usah dianut. Sikap ini, pada praktiknya, kerap memunculkan nalar dosa-pahala, atau benar-salah, dalam penggunaan bahasa.

Kutipan ilustratif akan mampu mendongkrak mutu kesahihan dan keterandalan KKhBI. Kutipan ilustratif menunjukkan pada pengguna kamus bahwa setiap lema yang diikutsertakan dalam kamus merupakan kata yang nyata pernah digunakan. Dengan begitu, kita butuh sebuah korpus bahasa Indonesia yang memadai, yang dibuat khusus untuk memenuhi tujuan-tujuan kamus itu. Satu jenis teks yang, menurut saya, tidak maksimal digunakan KBBI sebagai korpusnya adalah justru salah satu teks yang punya jasa besar dalam tumbuh-kembang bahasa Indonesia: karya sastra Indonesia. Padahal, seperti yang bisa kita lihat dalam kamus-kamus besar bahasa lain, karya sastra menjadi salah satu sumur utama untuk menimba kutipan ilustratif.

Selain itu, sifat etimologis sudah selayaknya dianut oleh KKhBI. Satu hal yang sangat penting dari kamus etimologis adalah perannya dalam melukiskan tumbuh-kembang sebuah bahasa serta ke-salingpengaruh-an bahasa itu dengan bahasa-bahasa lainnya, khususnya dalam ranah khazanah kata. Kamus etimologis memperlakukan kata ibarat makhluk hidup, yang punya jalan hidup. Jalan hidup kata inilah yang menjadi pusat kerja kamus etimologis: ia hadir sebagai kamus yang menerapkan ilmu, atau bahkan seni, menulis biografi kata.

Pentingnya membuat kamus bahasa Indonesia yang etimologis relevan dengan alaminya bahasa Indonesia itu sendiri: bahasa Indonesia adalah bahasa terbuka yang banyak sekali menerima pengaruh bahasa lain, sumbangan kosakata dari bahasa lain. Begitu banyak kata dari bahasa lain yang telah begitu lama menjadi kata bahasa Indonesia, sampai kita tidak lagi menyadari asal-usulnya. Maklumat jitu atas asal-usul kata akan berfaedah untuk membangun kesadaran dan pengetahuan sejarawi para penutur atas bahasa Indonesia: bahasa Indonesia tidak pernah dan tidak akan tumbuh sendirian; ia selalu bergumul-gaul dengan bahasa lain.

Konsep kamus macam ini boleh jadi memerangah kita. Banyak sekali tenaga, waktu, pikiran yang harus dicurahkan untuk mewujudkannya. Mungkin banyak dari kita yang tidak akan bertahan hidup untuk menyaksikan kamus ini hadir dalam bentuknya yang utuh lengkap (perhatikan bahwa kamus besar bahasa Belanda, Woordenboek der Nederlandsche Taal, membutuhkan proses yang memakan waktu sampai 150 tahun). Tapi, kini kita punya alat bantu yang bisa mempercepat dan mempermudah proses pengerjaan tersebut: komputer dan internet. Kita tidak lagi membutuhkan ratusan ribu lubang-merpati, seperti yang digunakan para editor Oxford English Dictionary sebagai tempat menyimpan lembaran-lembaran calon lema – kita bisa menciptakan lubang-merpati digital dengan komputer. Kita juga tidak harus menghabiskan puluhan ribu lembar kertas dan berkilo-kilo tinta untuk mencetak – kita bisa memanfaatkan luasnya ruang yang disediakan dunia maya sebagai tempat mempublikasikan kamus dambaan ini.

Kamus Khalayak Bahasa Indonesia adalah ‘kamus kita orang punya’, kamus anak darah-daging masyakarat penutur bahasa Indonesia. Kamus Khalayak Bahasa Indonesia, tempat kita membaca sejarah biografis kosakata yang hidup atau yang pernah hidup atau yang menunggu untuk dihidupkan kembali. Karena kata itu ibarat frekuensi radio yang abadi. Seperti dalam puisi yang saya jadikan pembuka tulisan ini, kata tidak pernah mati, ia hanya bisa sunyi. “Dan terhadap Kata, Dunia yang lasak tetap berputar di sekitar pusar Kata yang diam.”

Artikel ini juga saya terbitkan di situs web Majalah Bahasa Lidahibu dengan judul yang sama.


Posted

in

by